
Bandung, 30 Mei 2025 — pttogel Persaingan politik di Jawa Barat kembali menghangat seiring mendekatnya Pilkada 2024 yang akan digelar ulang akibat keputusan Mahkamah Konstitusi. Salah satu topik hangat yang menyeruak ke permukaan adalah perbandingan mencolok antara citra personal Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwakarta, dengan kinerja Pemprov Jawa Barat yang saat ini masih dalam masa transisi pasca Ridwan Kamil.
Sorotan publik ini pun mendapat tanggapan langsung dari Ono Surono, Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat sekaligus bakal calon gubernur yang digadang-gadang akan maju dalam Pilkada mendatang. Dalam sebuah wawancara eksklusif bersama media, Ono membahas secara terbuka bagaimana persepsi publik bisa sangat timpang antara figur Dedi dan kinerja kelembagaan Pemprov yang semestinya menjadi tolok ukur pembangunan jangka panjang.
baca juga: lantik-dua-pejabat-kementerian-bumn-erick-thohir-titip-danantara
Citra Dedi Mulyadi: Dekat dengan Rakyat, Viral di Medsos
Dedi Mulyadi dikenal luas sebagai figur politisi yang aktif turun langsung ke lapangan. Gayanya yang nyentrik, ramah, dan komunikatif membuat dirinya mudah diterima oleh masyarakat akar rumput. Ditambah lagi, kehadirannya di media sosial — melalui konten video yang memperlihatkan interaksinya dengan warga desa, tukang becak, hingga anak-anak — memperkuat kesan bahwa Dedi adalah pemimpin yang humanis.
Namun menurut Ono, hal ini justru memunculkan ketimpangan persepsi publik. “Saya akui, Kang Dedi sangat kuat dalam membangun citra personal. Tapi jangan sampai rakyat kita terjebak dalam pencitraan semata. Ada banyak indikator pembangunan yang harus dilihat secara objektif, bukan hanya dari konten-konten viral,” ujarnya.
Ono menekankan bahwa pembangunan di tingkat provinsi tidak cukup hanya dengan pendekatan empati personal, tetapi harus diukur dengan data capaian, keberlanjutan program, dan integrasi lintas sektor.
Kinerja Pemprov: Minim Ekspos, Tapi Strategis
Di sisi lain, kinerja Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam beberapa tahun terakhir dinilai kurang menonjol di mata publik. Meskipun beberapa capaian strategis telah diraih — seperti peningkatan infrastruktur digital, penguatan UMKM, dan inovasi pelayanan publik — semua itu tertutup oleh dominasi narasi personal figur-figur populer seperti Dedi Mulyadi.
“Kinerja Pemprov itu tidak seharusnya diabaikan hanya karena tidak viral,” kata Ono. Ia mengingatkan pentingnya membedakan antara kerja nyata yang berdampak luas dengan kerja-kerja populis yang seringkali bersifat simbolik.
Menurutnya, pemerintahan provinsi memiliki tanggung jawab sistemik yang lebih luas, termasuk perencanaan pembangunan daerah jangka panjang (RPJMD), alokasi anggaran lintas kabupaten/kota, dan kebijakan yang melibatkan seluruh perangkat daerah. Oleh karena itu, publik perlu diedukasi untuk tidak menilai kepemimpinan hanya dari wajah yang sering muncul di layar ponsel.
Peran Media dan Edukasi Politik
Ono juga menyoroti peran media dan ekosistem digital yang turut memperkuat ketimpangan ini. Di era algoritma media sosial, konten-konten yang emosional dan personal lebih mudah menyebar ketimbang laporan tahunan pembangunan daerah atau paparan kebijakan publik.
“Sudah saatnya media — termasuk media sosial — turut mengambil bagian dalam edukasi politik,” tegas Ono. Ia mendorong agar ada lebih banyak ruang untuk diskusi berbasis data, perbandingan program, dan transparansi anggaran yang mudah diakses masyarakat.
Edukasi politik, lanjutnya, harus dimulai dari sekolah, kampus, hingga komunitas warga. Pemilih yang cerdas akan mampu melihat bahwa karisma seorang tokoh tidak selalu sebanding dengan kapasitasnya mengelola pemerintahan secara makro.
Menyongsong Pilkada 2024: Figur vs Sistem
Menjelang Pilkada yang kembali dipanaskan pasca putusan MK, masyarakat Jawa Barat dihadapkan pada dilema klasik: memilih berdasarkan figur atau berdasarkan program.
Ono mengajak semua pihak untuk bersama-sama mengubah kultur politik yang terlalu berpusat pada figur. “Saya bukan menyepelekan pentingnya figur, tapi kita juga harus membangun sistem yang kuat. Karena pemerintahan bukan tentang satu orang saja, melainkan tentang tim kerja, tata kelola, dan konsistensi pelaksanaan visi-misi,” ungkapnya.
Ia pun menyatakan kesiapannya untuk maju dalam Pilkada mendatang, namun dengan pendekatan yang lebih substansial. “Saya ingin menawarkan kepemimpinan yang berbasis data, transparansi, dan kolaborasi. Bukan hanya sekadar pencitraan,” tambahnya.
Penutup: Menimbang Kembali Cara Kita Memilih
Ketimpangan citra antara Dedi Mulyadi dan kinerja Pemprov Jawa Barat menjadi refleksi penting bagi masyarakat dalam menilai calon pemimpin. Apakah kita akan terus terpesona oleh gaya personal dan popularitas media sosial, ataukah mulai membangun kebiasaan politik yang berbasis substansi?
Pilkada mendatang bukan sekadar kontestasi antar tokoh, melainkan momentum bagi warga Jawa Barat untuk menentukan arah pembangunan provinsi ke depan. Figur boleh populer, tapi kinerja harus tetap jadi tolok ukur utama.
sumber artikel: syakhaaantigo.com